Jumat, 12 Januari 2018

Studi Naskah Tafsir_As-Sya`rawi_ An Nisa` 1-3_Poligami

Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami)
Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin, Muhammad Muthiurridlo, Ikrom Najibuddin
Fakultas Ushuluddin
Institut PTIQ Jakarta



 PENDAHULUAN
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dan kaum yang lain, dan perkenalan akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam pernikahan dikenal juga dengan istilah poligami, poliandri, dan monogami. Poligami ialah seseorang suami yang memiliki istri lebih dari satu, dalam Islam poiligami di perbolehkan dengan syarat mampu menegakkan keadilan dalam rumah tangganya.
Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.
Di dalam Al-Quran sudah di sebutkan batasan jumlah istri yang boleh di nikahi yaitu : dua, tiga atau empat ada juga yang berpendapat 2+3+4 sampai dengan sembilan istri.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligami menjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lama semakin banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak di antara kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum Negara maupun hukum agama. Dalam makalah ini kami mencoba membahas mengenai tafsir Surah An-Nisa ayat 3-4  yang membahas masalah poligami. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.







PEMBAHASAN
 Surah An-nisa ayat 3:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Asbabun Nuzul
Imam Bukhari, Imam Muslim, Nasa’i, Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dari Urwah Bin Zubair bahwa ia bertanya kepada khaalahnya ( bibi dari ibu ) yaitu Sayyidah Aisyah r.a tentang ayat ini, lalu Sayyidah Aisyah r.a berkata, “wahai putra saudara perempuanku, ada seorang anak yatim perempuan yang berada di bawah asuhan walinya, si wali tersebut ikut menikmati harta si anak yatim tersebut. Lalu si wali ternyata tertarik kepada harta dan kecantikan nya, lau ia ingin menikahinya tanpa mau bersikap adil di dalam memberikan mahar kepadanya dengan cara tidak memberinya maskawin atau mahar seperti yang biasa diberikan kepada para wanita sepertinya. Lalu sikap seperti ini di larang bagi mereka dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya yang mereka senangi, dua, tiga, atau empat.

Sa’id Bin Jabair, Qatadah, Ar-Rabi’, Adh-Dhahhak Dan As-Suddi berkata mereka bersikap hati-hati dan menjauhi harta anak yatim dan bersikap lebih bebas dan mempermudah di dalam masalah wanita, mereka menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan, namun terkadang mereka bersikap adil dan terkadang tidak. Lalu ketika mereka bertanya tentang masalah anak-anak yatim, maka turunlah ayat anak-anak yatim, yaitu ayat dua surah an-Nisa. Allah SWT juga menurunkan ayat tiga surah an-Nisa ini, seolah-olah Allah SWT berfirman kepada mereka, sebagaimana kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, maka begitu juga kalian harus takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak wanita. Oleh karena itu, janganlah kalian menikahi wanita lebih dari jumlah yang kalian bisa memenuhi hak-haknya. Karena wanita memiliki kesamaan dengan anak yatim, yaitu sebagai makhluk yang lemah. Ini adalah pendapat ibnu abbas r.a di dalam riwayat al-walibi (ali bin rabi’ah bin nadhlah), salah satu perawi terpercaya dari ath-thabqah ats-tsaalitsah.[[1]]

Munasabah ayat
Ayat 3 al-Nisa’ ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’. Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk mengambil harta anak yatim tersebut.
Tafsir ayat
 Imam Ath-Thabari memahami ayat di atas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika khawatir” tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.[[2]]
Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.
Perintah pada ayat, فانكحوا adalah perintah yang bersifat ibaahah (memperbolehkan), seperti perintah pada ayat, وكلوا واشربوا (al-Baqarah :187) dan bentuk-bentuk perintah yang sejenis lainnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perintah tersebut adalah bersifat wujuub (wajib), namun yang dimaksud wajib disini bukanlah wajib nikahnya, akan tetapi wajib terbatas pada jumlah seperti yang dijelaskan di ayat tersebut, yaitu dua, tiga atau empat. Atau dengan kata lain , jika berpoligami, maka wajib hanya terbatas pada jumlah tersebut, tidak boleh melebihi.[[3]]
Quraish Shihab menyatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 tidaklah mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya. Ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang amat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan begitu, bahasan tentang poligami dalam Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya, namun harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[[4]]
Hal senada juga diungkapkan al Maraghi, bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat yang dilakukan oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Alasan yang membolehkan poligami menurut al Maraghi adalah (1) istri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan, (2) suami hiperseks sementara istri tidak mampu melayani, (3) suami memiliki harta yang banyak untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, dan (4) jumlah perempuan melebihi laki-laki atau banyaknya janda dan anak yatim karena perang[[5]]
Ayat, مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ  bilangan-bilangan ini menunjukkan arti takriir atau berulang, maksudnya matsnaa artinya adalah istnain istnain (dua-dua),tsulaats artinya tsalaatsah tsalaatsah (tiga-tiga) dan rubaa’ artinya arba’ah arba’ah. Maksudnya adalah, diperbolehkan yang ingin berpoligami untuk menikahi wanita sejumlah tersebut.
Kemudian Allah SWT menguatkan keharusan bersikap adil diantara para istri apabila seorang berpoligami. Hal ini dipahani dari ayat وان خفتم الا تقسطوا dan Allah SWT menjelaskan, apabila kalian takut tidak bisa bersikap adil ketika berpoligami, maka kalian harus menikahi satu wanita saja. Karena yang diperbolehkan berpoigami adalah orang yang yakin dirinya bisa merealisasikan kewajiban bersikap adil yang diperintahkan secara jelas di dalam ayat.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(an-Nisa’ : 129).
Namun yang di maksud tidak akan dapat berbuat adil oleh ayat 129 ini adalah adil dalam kecenderungan hati. Karena jika tidak, maka kesimpulan dua ayat ini ayat tiga dan 129 di lihat dari satu sisi adalah berarti larangan berpoligami.
Ath-Thabari, Ar-Razi, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha memahami ayat 3 surat An-Nisa’ yang acap kali dijadikan dasar kebolehan berpoligami itu dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim dan perempuan-perempuan yang dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama ayat tersebut adalah berbuat adil terhadap hak-hak dan kepentingan-kepentingan anak yatim dan perempuan yang dinikahi.
Menurut Quraish Shihab penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya “Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda”. Tentu saja perintah menghabiskan larangan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu. Poligami adalah salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency.
Menurut Sya’rawi, “Hukum asal dari poligami pada tahap awal adalah ibahah (boleh) bukan wajib, dalam arti Islam tidak mewajibkan laki-laki untuk melakukan poligami. Mengawini perempuan walaupun berjumlah satu orang hukumnya tetap mubah. Selama mubah, maka pelaksanaannya tergantung keinginan manusia yang melaksanakannya.
Apabila kamu mengambil suatu hukum , maka ambillah berikut syaratnya jangan mengambil bolehnya poligami dan meninggalkan syaratnya yaitu berlaku adil, karena ini akan menimbulkan kerusakan.
Manhaj Ilahi harus diambil secara utuh dalam satu kesatuan. Kenapa perempuan membenci poligami? Karena dia menemukan suami yang menikahi istri kedua melantarkan istri pertama. Hal ini mencamarkan nama abik hukum Islam, karena tidak dilakukan dalam satu kesatuan. Kalaulah suami bertindak adil dalam menggauli, member nafkah, tempat dan giliran bagi para istrinya, maka hal ini menjadi percontohan bagi keadilan yang didinginkan Islam.
Dalam pengertian lain, keadilan yang di inginkan ialah pemeratan bagi semua istri dalam memperoleh hak: tempat tinggal, waktu, dan giliran. Hal inin mampu dilakukan oleh semua suami.
Aisyah menkisahkan bahwa Rasulullah membagikan segala sesuatu kepada seluruh istrinya dengan bagian sama rata, lalu beliau bersabda: “Ya Allah inilah yang bisa saya bagi dari apa-apa yang kumiliki, maka jangan mencaciku terhadap apa-apa yang Kamu miliki dan tidak dan tidak saya miliki (hati).” (HR Imam Ahmad, Abu DAud dan ad-Darimi).
Poligami mempunyai nilai positif. Seandainya sudah kurang interes terhadap isterinya, apa yang harus dia lakukan? Apakah ia harus menceraikannya dan mencari perempuan lain, atau dia memaduhnya dengan isteri baru? Di antara Negara muslim ada yang membolehkan diterapkannya poligami, bukan karena islam yang mencetuskannya, tapi karena keadaan masyarakat mewajibkan hal itu diberlakukan guna memecahkan problematika kehidupan mereka, guna mencegah perselingkuahan. Teman selingkuh ini telah merusak tatanan kehidupan masyarakat dan menyebabkan bayi lahir tanpa ayah.
Istri kedua merupakan satu solusi untuk mewujudkan suasana bersih di tengah masyarakat. Perkawinan suami itu dangan istri kedua itu diketahui oleh semua orang , dan selanjutnya suami akan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup istri berikut anak-anaknya.



KESIMPULAN
Sesungguhnya poligami dalam islam adalah sesuatu yang berpangkal dari keadaan yang mendesak atau didorong oleh demi maslahah ‘aammah (kebaikan universal), atau demi kebaikan individu. Dan memperbaiki kerusakan itu lebih baik daripada membiarkan kerusakan. Dan seseorang dilarang untuk mencoba membiarkan kerusakan berkelanjutan. Karena dalil Nash telah secara jelas memperbolehkan  poligami, tidak mengamalkan dalil Nash atau keluar dari ketentuan dalil Nash adalah kemungkaran yang haram dalam syari’at Allah dan agama-Nya.
Prinsip dasar Islam tentang pernikahan adalah monogami, meskipun membolehkan poligami yang tidak dapat menimbulkan malapetaka baik untuk yang berpoligami maupun terhadap perempuan dengan sejumlah syarat yang ketat. Poligami dalam ayat tersebut terbatas sebagai irsyad (petunjuk) bukan al-i’lam (anjuran). Sebagaimana al-Qur’an tidak memutlakannya, tapi membatasainya menjadi empat dengan syarat adil yang membedakannya dengan syarat lain tanpa pembatasan. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, kebolehan tersebut menjadi hilang. Karena persyaratan yang ketat inilah mendorong kalangan modernis untuk merekomendasikan perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah monogamy.
Pada prinsipnya ayat ini membolehkan poligami sebagai suatu hukum agama yang dapat saja berbentuk haram, sunnah, mubah, makruh, dan halal sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya baik berupa kemaslahatan maupun kemudharatan. Apabila poligami telah memunculkan persoalan yang merusak tatanan masyarakat, penguasa dapat menjadikan poligami sebagai hal yang haram.







DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. 2013. Tafsir Al-Munir, Jilid II. Jakarta : Gema Insani.
Ath-Thabari. 2000. Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an. Muassasah Al-Risalah, Cetakan pertama.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz IV. Semarang: PT. Karya Toha Putra.



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid II ( Jakarta : Gema Insani, 2013 ), Hml. 571-572
[2] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah Al-Risalah, Cetakan pertama, 2000), V, hlm. 532
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Hlm. 573.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2002, hlm. 324.
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz IV. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Hlm 181-182

Senin, 08 Januari 2018

Resensi Buku Pendidikan Agama Islam

Resensi Buku Pendidikan Agama Islam
                                               Resentator: Muhammad Fadhlan Syaifudin
Ushuluddin VB
     NIM: 151410507
  1. Identitas Buku
Judul buku           : Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam
Pengarang            : Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.
Kota/ Penerbit     : Jakarta / Rajawali Pers
Cetakan               : Ke-2
Tahun                  : 2012
Tebal                    : 341 halaman


  1. Biodata Penulis
            Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. lahir di Lumajang, 11 Desember 1956. Memperoleh gelar Sarjana Muda Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang tahun 1976, gelar Magister (S2) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1989, dan gelar Doktor (S3) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul disertasi “Filsafat Pendidikan Islam Indonesia suatu Kajian Tipologis”.
            Beliau pernah menjadi dosen tetap di IAIN Sunan Ampel Malang, menjadi guru besar pada UIN Malang, menjadi direktur program pasca sarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan dengan keahliannya dibidang pendidikan beliau diminta batuannya mengajar di beberapa Program Pascasarjana (S2 dan S3) terutama pada UIN Malang, STAIN, IAIN dan PTAIS di wilayah Jawa Timur serta menjadi external examiner disertasi Ph.D Pada Universitas Malaya Kuala lumpur Malaysia dan salah satu tim peneliti kenaikan jabatan ke Gurur Besar Madya pada Universitas Sains Islam Malaysia.
  1. Isi Buku
            Buku ini disusun sesuai dengan perkembangan pendidikan Islam sebagai kajian yang bersifat teoretis dan fondasional serta mengkaji dan mengantisipasi proglem dan isu-isu aktual di bidang pendidikan Islam. Buku ini terkait langsung dengan matakuliah, pemikiran pendidikan Islam, Kapita selekta pendidikan, pengembangan kurikulum pendidikan Islam dan pengembangan pendidikan Islam kajian fondasional dan operasional pada jenjang S1, S2 dan S3. Pada bab pertama, buku ini menjelaskan tentang ladasan pengembangan pendidikan Islam terutama berkaitan dengan makna pengembangan pendidikan Islam, pentingnya landasan pengembangan pendidikan Islam dan implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam.
            Adapun kandungan dari bab 2 tentang model-model pemikiran dalam Islam implikasinya terhadap pengembangan studi Islam pada perguruan tinggi agama Islam. Dalam hal ii membahas tentang makna Islam dalam konteks perkembangan pemikiran modern di dunia Islam, pasang surut perkembangan pemikiran di dunia Islam, model-model    pemikiran Islam dalam konteks pengembangan pendidikan dan implikasinya terhadap pengembangan studi Islam di PTAI.
            Bab 3 menjelaskan secara jelas tentang kajian pendidikan Islam di Nusantara baik dilihat dari segi ontology, epistemology dan aksiologi. Sedangkan untuk bab 4 dan bab 5 menjelaskan tentang pengembangan program studi pada PTAI mulai dari landasan pengembangannya, respon terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat dan keharus untuk memberantas penyakit kalsih. Sedangkan kandungan yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam dalam merespon tantangan global diklarifikasikan pada tantagan yang dihadapi Indonesia dan kunci sukses dalam menghadapinya, peningkatan kualitaas guru sebagai upaya pengembangan kualitas SDM serta pengembangan sekolah dan madrasah.
            Bab 6 mengkaji tentang perkembangan madrasah, khususnya yang berkaitan dengan makna substansi madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam dan gambaran umum praktek pengembangan madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam.
            Untuk bab 7 mengkaji tentang perkembangan profesionalisme guru pendidikan agama Islam baik yang berkaitan dengan tantangan pndidikan agama Islam dan pentingnya pengembangan profesionalisme guru PAI, hakikat dan itelektualnya dengan mata pelajaran lain di sekolah/madrasah.
            Bab 8 mengkaji tentang pemberdayaan tim pengembangan kurikulum madrasah dalam mengendalikan kualitas madrasah, hal ini berkaitan langsung dengan pembahasan pentingnya Tim Pengembangan Kurikulum Madrasah, tujuan penyelenggaraan Tim Pengembangan Kurikulum Madrasah, peran dan tugas Tim Pengembangan Kurikulum Madrasah, program kerja dan pendukung Tim Pengembangan Kurikulum Madrasah serta pemberdayaan Tim Pengembangan Kurikulum Madrasah.
            Adapun bab terakhir mengkaji tentang monitoring dan evaluasi kurikulum madrasah, pembahasan ini berkaitan langsung dengan pentingnya monitoring dan evaluasi kurikulum madrasah, pengertian dan tujuan pelaksanaan monitoring dan evaluasi, landasan pelaksanaan monitoring dan evaluasi, model pelaksanaan monitoring dan evaluasi, pegembangan instrument monitoring dan evaluasi, serta penyusunan laporan monitoring dan evaluasi kurikulum madrasah.
  1. Keunggulan dan kekurangan buku
  2. Keunggulan buku
            Buku ini memiliki keunggulan dari segi pembahasan yang analitis dan mendalam serta banyak memberikan inspirasi, membuka wawasan dan membantu para pengawas pendidikan (PPAI), para pimpinan lembaga pendidikan Islam dalam melaksanakan tugas dan tanggug jawabnya. Buku ini sangat diperlukan oleh seluruh perguruan tinggi, karena teori-teori yang dikembangkan sesuai dengan perkembangan pendidikan tinggi.
            Dengan keunggulan tersebut membuat para pemimpin lembaga pendidikan Islam (madrasah/sekolah Islamdan pergurun tinggi Islam/UIN, IAIN, STAIN atau PTAIS sama-sama mejadikan buku ini latar belakang atau dasar dalam pembelajaran pendidikan Islam.

  1. Kekurangan buku
            Setelah saya membaca buku Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam karya Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.ini, sejauh ini belum saya temukan kekurangan didalam buku ini, karena penjelasan materi didalam buku ini mudah dimengerti dan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami serta dilengkapi dengan daftar gambar dan table.
            Dengan demikian buku ini benar-benar bisa memberikan aspirasi kepada pembaca, khususnya pada mahasiswa karena dalam buku ini tidak tidak bersifa normatif, teoretis dan tidak hanya membicarakan hal-hal yang menyangkut das sollen (apa yang seharusnya) kurang diimbangi dengan kajian-kajian empirik atau isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat lokal, nasional maupun global, namun buku ini bertujuan untuk menjembatani kedua kepentingan tersebut, sehingga kajiannya bukan sekedar neyangkut hal-hal yang berifat teoritis dan fondasional tetapi juga mengkaji dan mengantisipasi problem dan isu-siu aktual di bidang pendidikan Islam.

Metodologi Penelitian

Muhammad Fadhlan Syaifudin
NIM: 151410507
Ushuluddin 5B
Institut PTIQ Jakarta





LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN



                   Langkah dalam melakukan sebuah penelitian suatu hal yang sangat penting dipahami oleh seorang peneliti, tanpa memahami langkah-langkah penelitian  suatu penyebab timbulnya kesulitan bagi  peneliti dalam melakukan proses penelitian. Maka banyak di Indonesia mahasiswa yang belum mampu melakukan penelitian dengan baik karna kurangnya  pemahaman tentang pengetahuan  penelitian.
            Langkah-langkah penelitian di bidang ilmu pengetahuan disebut juga “Metodologi Penelitian”. Metodologi Penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian. Atau ilmu yang membahas metode ilmiah dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.[1]Pengetahuan (knowledge) diartikan sebagai kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil pengunaan panca indera. Pengetahuan bertujuan untuk mendapatkan kepastian dan menghilangkan prasangka dari akibat ketidak pastian itu. Pengetahuan itu jika disusun secara sistematis dengan mengunakan kekuatan pikiran, dan itu selalu dapat diperiksa dan ditelaah/dikontrol dengan kritis oleh setiap orang yang ingin mengetahuinya (objektif), maka pengetahuan tersebut disebut “ilmu pengetahuan” (science).

A.    Langkah-langkah Penelitian
            Karena metode Penelitian ilmiah dilakukan secara sistematis dan berencana, maka terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan secara urut dalam pelaksanaannya. Setiap langkah atau tahapan dilaksanakan secara terkontrol dan terjaga. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut:
1.       Pengajuan Masalah
            Langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah. Secara operasional suatu gejala baru dapat disebut masalah bila gejala itu terdapat dalam sutuasi tertentu. Sedangkan Menurut Fisher, dkk (1983), masalah diartikan senbagai:
~  Suatu kesulitan yang dirasakan oleh seseorang;
~  Suatu perasaan yang tidak menyenangkan seseorang atas fenomena yang ada/terjadi; atau
~  Suatu ketidak sesuaian atau penyimpangan yang dirasakan atas apa yang seharusnya dan apa yang ada/terjadi.

            Dalam pengajuan masalah dapat dibahas pembagiannya sebagai berikut:
a.       Latar belakang masalah
            Perlu disadari pada hakikatnya suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolas oleh faktor lain. Selalu terdapat konstelasi yang merupan latar belakang dari suatu masalah tertentu apakah itu latar belakang ekonomi, sosial,politik, kebudayanaan atau faktor-faktor lainya. Dalam penulisan usulan penelitian (proposal penelitian) maupun laporan penelitian, sipeneliti perlu menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi masalah tersebut, yakni memberikan gambaran yang lengkap tentang latar belakang dari masalah yang diteliti. Gambaran tersebut menunjukan bahwa masalah yang diteliti memang benar-benar penting. Dengan kata lain, peneliti perlu mengidentifikasi situasi masalah dengan tepat dan jelas. Jika tidak, sponsor, pembimbing, atau orang lain yang menbaca proposal penelitiannya tidak merasa pasti atau tidak tahu mengapa masalah tersebut diteliti.

b.      Identifikasi Masalah
            Merupakan suatu tahap permulaan dari penguasaan masalah di mana suatu obyek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat kita kenali sebagai suatu masalah. Contoh dalam lingkup pemerataan kesempatan menikmati pendidikan formal dalam bidang keagamaan/madhrasah, umpamanya maka inovasi pendidikan non formal, segera menampakan diri sebagai suatu masalah.

c.       Pembatasan Masalah
            Merupakan upaya untuk menetapkan batasan-batasan permasalahan dengan jelas, yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasikan  faktor mana saja yang termasuk ke dalam lingkup permasalan dan faktor mana yang tidak. Sekiranya kita akan mengadakan studi perbandingan antara pendidikan formal dan pendidikan non formal umpamanya, maka ruang lingkup permasalahan itu harus dibatasi dengan mengemukakan serangkanian pertanyaan, seperti dari segi mana studi perbandingan itu akan didekati: apakah dari segi efisiensi, sfektifitas,ekonomi,sosiologi, kultural atau proses belajar-mengajar.
Dengan pembatasan-pembatasan ini maka fokus masalah menjadi bertambah jelas yang memungkinkan kita untuk merumuskan masalah dengan baik.

d.      Perumusan Masalah
            Merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin kita carikan jawabanya. Atau dengan kata lain, perumusan masalah merupakan peryataan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Masalah yang dirumuskan dengan baik, berarti sudah setengah menjawab. Perumusan masalah yang baik bukan saja membantu memusatkan pikiran namun sekaligus mengarahkan juga cara berfikir kita.
           
            Hal-hal yang harus diperhatikan di dalam merumuskan masalah, antara lain sebagai berikut:
1.      Masalah hendaknya dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat Tanya.
2.      Rumusan masalah hendaknya singkat, padat, jelas dan mudah dipahami. Rumusan masalah yang terlalu panjang akan sulit dipahami dan akan menyimpang dari pokok permasalahan.
3.      Rumusan masalah hendaknya merupakan masalah yang kemungkinan dapat dicari cara pemecahannya. Permasalahan mengapa benda bergerak dapat dicari jawabannya dibandingkan permasalahn apakah dosa dapat diukur.


e.       Tujuan Penelitian
            Pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan.

f.       Kegunaan Penelitian
            Merupakan manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang dapat dari penelitian.


2.      Penyusunan Kerangka Teoretis dan Pengajuan Hipotesis
            Kerangka teoritis adalah kerangka berfikir kita yang bersifat teoritis atau konsepsional mengenai masalah yang akan kita teliti. Kerangka berfikir tersebut mengambarkan hubungan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti. Jadi kerangka teoritis    merupakan teori yang kita buat untuk memberikan gambaran yang sitematis mengenai masalah yang akan kita teliti. Teori itu masih bersifat sementara yang akan kita buktikan kebenarannya. Kebenaran dari hubungan antar konsep itu nantinya kita buktikan dengan menguji hipotesis-hipotesis yang kita rumuskan berdasarkan hubungan konsep-konsep tadi. Dalam hal ini hipotesis adalah jawaban sementara dari masalah penelitian kita.

3.      Pengujian Hipotesis
            Setelah kita berhasil merumuskan hipotesis yang diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya ialah mengiji hipotesis tersebut secara empiris. Artinya melakukan verifikasi apakah peryataan yang terkandung oleh hipotesis yang diajukan tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat faktual.Masalah yang dihadapkan dalam verifikasi ini adalah bagaimana prosedur dan cara dalam mengumpulkan dan analisis data agar kesimpulan ditarik memenuhi persyaratan berfikir induktif. Penetapan prosedur dan cara ini disebut juga metodologi penelitian yang merupakan persiapan sebelum verifikasi dilakukan.
            Setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian . Maka kegiantan utama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji melaikan sekaligus juga tingkat keumunan dari kesimpulan yang ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya. Berdasarkan tujuan penelitian penelitian maka kita dapat memilih metode penelitian yang tepat beserta teknik pengambilan contoh dan teknik penarikan kesimpulan yang relevan.
            Teknik dalam penelitian harus dipilih yang sesuai dengan perumusan hipotesis. Seperti jikan umpamanya terdapat teknis analitis statistika yang berberbedan dalam hal dalam menentukan perbedaan antara variabel . Sekiranya hipotesis kita menyatakan bahwa, tidak terdapat perbedaan prestasi IPA di SD antara pendidikan formal dan non formal, maka teknis analitis data, atau lebih tepat di rumuskan bentuk statistika yang digunakan dalam pengjujian hipotesis. Pengajuan hipotesis dalam kerangka teoretis cukup diekspresikan dengan hipotesis konseptual yang dinyatakan dalam bentuk nonstatistis.


4.      Hasil Penelitian
            Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka sampailah kepada langkah melaporkan apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik kesimpulan penelitian.
            Dalam membahas hasil penelitian maka harus diingat bahwa tujuan kita adalah menbandingkan kesimpulan dengan hipotesis yang diajukan.Secara sistematis dan terarah maka data yang telah kita kumpulkan terdebut kita olah, deskripsikan, bandingkan dan evaluasi apakah data tersebut mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Pada hakikatnaya sebuah hasil penelitian yang biak tidak berhenti pada kesimpulan apakah sebuah hipotesis diterima atau ditolak melainkan dilengkapi dengan evaluasi mengenai kesimpulan tersebut. evaluasi yang mencakup masalah bisa merupakan saran-saran yang bermanfaat bagi peneliti lain yang mungkin berminat untuk mengkaji masalah itu lebih lanjut.



Daftar Pustaka
Adi, rianto. Metodologi penelitian sosial dan hokum. Jakarta: Granit, 2014
Suriasumantri, J.S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan, 1990 


Mengenal Kitab Tafsir Klasik dan Kontemporer- Al Qhurthubi

Muhammad Fadhlan Syaifudin  
NIM: 151410507  
Ushuluddin 5B
Institut PTIQ Jakarta


Kitab Al-Jami` Li Ahkam Al-Qur`an
Karya Al-Qurthubi


BAB I
PENDAHULUAN
            Al-Quran menyebut dirinya sebagai Hudan li al-nas, petunjuk bagi segenap umat manusia. Akan tetapi, petunjuk al-Quran tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Quran diwahyukan hingga dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tidak pernah ada henti-hnetinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama yang dipersembahkan guna menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang berlainan.
            Tafsir bisa diartikan dengan al-iddah wa al-tabyin, menjelaskan dan menerangkan, atau lebih lengkapnya adalah suatu ilmu yang dengannya kitab Allah dapat dipahami, mengeluarkan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan ilmu yang membahas al-Quran al-Karim dari segi dalalahnya sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah, dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikan, tafsir secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami al-Quran.
            Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurtubi, yang dikenal dengan Tafsir al-Qurtubi








BAB II
PEMBAHASAN
            A. Biografi Singkat al-Qurtubi
            Penulis kitab tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran adalah أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أبي بكر بن فرح الأنصاري الخزرجي شمس الدين القرطبي  (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Anshoriy al-Khazrajiy Syamsuddin al-Qurthubi[1]) atau yang dikenal dengan panggilan Al-Qurtubi .  Al-Qurtubiy sendiri adalah nama suatu daerah di Andalusia (sekarang Spanyol), yaitu Cordoba, yang di-nisbah-kan kepada al-Imam Abu Abdillah Muhammad, tempat dimana ia dilahirkan. Tidak ada data jelas yang menerangkan tanggal berapa ia dilahirkan, namun yang jelas Al-Qurtubi hidup ketika waktu itu wilayah Spanyol berada di bawah pengaruh kekuasaan dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Barat dan Bani Ahmar di Granada (1232—1492 M) yaitu sekitar abad ke-7 Hijriyah atau 13 Masehi[2].
            Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri.
            Setelah ia tumbuh dewasa dan merasa kurang dalam mendalami ilmunya itu, kemudian dia pergi ke mesir (yang pada waktu itu kekuasaan dipegang oleh Dinasti Ayyubiah) dan Ia menetap disana sampai ajal menjemputnya pada malam senin 9 syawal 671 H/1273 M dan makamnya sendiri berada di elmania, di timur sungai nil. Berkat pengabdiannya terhadap ilmu agama dan keinginannya dalam memajukan peradaban Islam, para penduduk disana sangat menghormati jasa beliau sehingga makamnya-pun sering diziarahi oleh banyak orang.

           
            Diantara guru-guru Imam al-Qurtubi adalah:
a.      Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Maliki Al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Penulis kitab Al-Mufhim fisyarh Shahih Muslim.
b.     Al-Hafizh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad Al-Bakariwafat pada tahun 656 H.
c.    Al-Hafizh Abu al-Hasan ali ibnu Muhammad bin Ali bin Hafs
d.   Ibnu Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin Rawwaj. Nama aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki, wafatnya tahun 648 H.
e.   Ibnu Al-Jumaizi, Al-Allamah Baha’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi’I, wafat pada tahun 649 H. Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira’at.

            Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurtubi:
1.  al-Jami’ li Ahkam al-Quran
 2. al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna
3. Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah
4. Syarh al-Taqassi
5. Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar
6. Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah
7. Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi

            BLatar Belakang penulisan kitab
            Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama' (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang juga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama mengenai masalah itu.

C. Kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
1. Pengenalan Umum Kitab Tafsir Qurtubi
            Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurtubi, hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang mempunyai nisbah nama al-Qurtubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurtubi al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan sebutan tafsir al-Qurtubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurtubi tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran wa al Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum al-Quran dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan ayat-ayat al-Quran. Dalam muqaddimahnya penamaan kitab ini didahului dengan kalimat Sammaitu….(aku namakan).[3] Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli dari pengarangnya sendiri.
            Tafsir Al Qurthubi diterbitkan oleh penerbit "Dar al-Kutub al-Ilmiah", Bairut, Lebanon tahun 1413-1993 H.. kitab ini terdiri dari 10 jilid dan seriap jilid ada 2juz, jadi jumlahnya ada 20 juz tafsir ini lengkap 30 juz. 
            Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya).

2. Sistematika
            Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya kitab tiga sistematika:
Pertama, sitematika Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas. Kedua, sitematika Nuzul yaitu dalam menafsirkan al-Quran berdasarkan kronologis turunnya surat-surat al-Quran, contoh mufasir yang memakai sistematika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengn tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Hadits. Ketiga, sistematika maudlu’I yaitu menfsirkan al-Quran berdasarkan topik-topik tertentu dengan topic tertentu kemudin ditafsirkan.  
   Al-Qurtubi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, dengan demikian ia memakai sistematika mushafi, yaitu dalam menafsirkan al-Quran sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.[4]

           
3. Metode
            Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat: Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
     Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain. Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
      Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.[5]

4. Corak Penafsiran
             Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
            Corak tafsir Al-Qurtubi lebih menonjol ke pemikiran fiqihnya, untuk mengawali tafsinya al-Qurtubi sengaja mencari kepada pemahaman lughowi. Dari makna lughowi kemudian dia menuju makna teknis (syar’i.) Pola semacam ini jelas cara-cara yang lazim di terapkan oleh para ahli fiqih guna menemukan istinbat hukum yang sah. Dan dapat di terima oleh semua pihak, kalau tidak secara aklamasi (100%), paling tidak keputusan hukum yang di hasilkannya diterima oleh mayoritas ummat, karena argument yang di jadikan alasan cukup rasional dan di dukung oleh pemahaman lughowi yang jelas dan valid.
            Menonjolnya corak fiqih dalam tafsir al-Qurtub itu bukanlah suatu yang aneh karena tafsirnya memang dari awal berjudul al- Jami’ li Ahkam al-Qur’an (menghimpun hukum fiqih dari ayat-ayat Al-Qur’an).Namun konsep-konsep fiqih yang di tonjolkannya terkesan netral, tidak fanatik terhadap madzhab Maliki yang di anutnya[6]. Lebih-lebih lagi kepada madzhab-madzhab lain. Tapi dia tampak selalu merujuk kepada pemahaman dan pengamalan Nabi dan shohabat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kasus yang sedang diahadapi. Karena itulah, ketika dia menafsirkan, dia juga mengaitkan pemahamannya dengan pemahaman yang lain yang berbicara seputar kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang turunnya ayat itu.
            Berdasarkan kondisi yang demikian, kita dapat berkata bahwa penafsiran al-Qurtubi cukup objektiv dan di dukung oleh argument yang kuat serta fakta sejarah yang valid. Tampaknya di sinilah terletak kekuatan hujjah (argument) tafsir al-Qurtubi ini terutama dalam bidang fiqih.

5. Contoh Penafsiran Dalam Kitab Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran

1. Metode Pendekatan Tafsir Bi Al-Ma`Tsur
والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا اتيتمو هنّ أجورهنّ…   (   ( الماءدة :۵
قوله تعالى : “والمحصنات”……. والتحصن: التمن : ومنه الحصن لأ نه يمتنع فيه, ومنه قوله تعالى : “وعلمناه صنعة لبوس لكم لتحصنكم من بأسكم ” (الانبياء: ٧۰) اى لتمنكم , ومنه الحصان للفرس (بكسر الحاء) لانه يمنع صاحبه من الهلاك . والحصان (بفتح الحاء) : المرأة العفيفة لمنعها نفسها من الهلاك. وحصنت المرأة تحصن فهى حصان.
وروي عن ابن عباس فى قوله تعالى : “والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب “. هو على العهد دون دار الحرب فيكون خاصا. وقال غيره : يجوز نكاح الذمية والحربية لعموم الاية. وروى عن ابن عباس انه قال: “المحصنات ” العفيفات العاقلات. وقال الشعبى : هو أن تحصن فرجها فلا نزنى, وتغتسل من الجنابة. وقرأ الشعبى “والمحصنات” بكسر الصاد, وبه قرأ الكسائ. وقال مجاهد: “المحصنات” الحرائر , قال أبو عبيد : يذب الى أنه لا يحل نكاح إماء أهل الكتاب, لقوله تعالى: ” فمن ما ملكت أيما نكم من فتياتكم المؤمنات” (النساء : ۲۵) وهذا القول الذى عليه جلة العلماء[7].
            Al-tahashun adalah sesuatu yang terpelihara dan terjaga dengan baik:(dari akar kata ini diambil kosa kata al-hisn (benteng) karena dengan benteng itu orang dapat bertahan dan selamat. Dalam konteks ini Allah berfirman: “Dan kami mengajarinya (Nabi Dawud) membuat baju besi agar dapat menyelamatkan kau dalam pertempuran” (al-Anbiya’: 80) artinya dengan berbaju itu kamu menjadi terpelihara dan terjaga (dari cidera dalam pertempuran). Lafal al-hishan (dengan huruf ha’ berbaris dibawah الحيصان) yang berarti kuda jantan juga berasal dari akar kata ini karena kuda memang dapat mencegah pemiliknya dari kecelakaan. Tapi al-hashan (dengan huruf ha’ berbaris diatas الحصان) berarti al-afifat (perempuan baik-baik) karena kepribadiannya yang baik itu dpat menjaga darinya kehancuran. Perempuan yang pandai menjaga dirinya akan selalu terpelihara sehingga dia menjadi seorang yang terpelihara baik
            Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah (seorang perempuan baik-baik dari ahlul kitab) yaitu mereka yang mempunyai perjanjian damai dengan pemerintahan Islam bukan yang berada diwilayah perang; jadi ayat itu berkonotasi khusus, (tidak umum bagi semua perempuan kafir). Tapi ada yang berpendapat bahwa konotasi ayat itu umum pada senua perempuan kafir, baik yang zimmiyah, maupun yang harbiyat.
Dari contoh penafsiran ayat diatas Bentuk penafsiran al-Qurthubi bi al-Ma’tsur (periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan hadis-hadis nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubi mengambil keputusan atau hasil dari ayat-ayat yang akan ditafsirkan beliau mengemukakan pendapat para ulama.
2. Contoh Sosial
قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ) أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يَقَعَ مِنْهُمْ تَغْيِيرٌ، إِمَّا مِنْهُمْ أَوْ مِنَ النَّاظِرِ لَهُمْ، أَوْ مِمَّنْ هُوَ مِنْهُمْ بِسَبَبٍ، كَمَا غَيَّرَ اللَّهُ بِالْمُنْهَزِمِينَ يَوْمَ أُحُدٍ بِسَبَبِ تَغْيِيرِ الرُّمَاةِ بِأَنْفُسِهِمْ، إِلَى غَيْرِ هَذَا مِنْ أَمْثِلَةِ الشَّرِيعَةِ، فَلَيْسَ مَعْنَى الْآيَةِ أَنَّهُ لَيْسَ يَنْزِلُ بِأَحَدٍ عُقُوبَةٌ إِلَّا بِأَنْ يَتَقَدَّمَ مِنْهُ ذَنْبٌ، بَلْ قَدْ تَنْزِلُ الْمَصَائِبُ بِذُنُوبِ الْغَيْرِ، كَمَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَقَدْ سُئِلَ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ- نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ"

3. Contoh Masalah Qira`at
- قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) قَالَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ: سَمِعْتُ الشَّاشِيَّ فِي مَجْلِسِ النَّظَرِ يَقُولُ: إِذَا قِيلَ لَا تَقْرَبْ (بِفَتْحِ الرَّاءِ) كَانَ معناه: لا تلبس بِالْفِعْلِ، وَإِنْ كَانَ بِضَمِّ الرَّاءِ كَانَ مَعْنَاهُ: لَا تَدْنُ مِنْهُ. وَقَرَأَ نَافِعٌ وَأَبُو عَمْرٍو وَابْنُ كَثِيرٍ وَابْنُ عَامِرٍ وَعَاصِمٌ فِي رِوَايَةِ حَفْصٍ عَنْهُ" يَطْهُرْنَ" بِسُكُونِ الطَّاءِ وَضَمِّ الْهَاءِ. وَقَرَأَ حَمْزَةُ وَالْكِسَائِيُّ وَعَاصِمٌ فِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ وَالْمُفَضَّلِ" يَطَّهَّرْنَ" بِتَشْدِيدِ الطَّاءِ وَالْهَاءِ وَفَتْحِهِمَا.  
4. Contoh Masalah Ilmu Kalam
قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّماواتِ وَالْأَرْضَ) ذَكَرَ ابْنُ عَسَاكِرَ. فِي تَارِيخِهِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:" الْكُرْسِيُّ لُؤْلُؤَةٌ وَالْقَلَمُ لُؤْلُؤَةٌ وَطُولُ الْقَلَمِ سَبْعُمِائَةِ سَنَةٍ وَطُولُ الْكُرْسِيِّ حَيْثُ لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ «3» ". وَرَوَى حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ- وَهُوَ عَاصِمُ بْنُ أَبِي النَّجُودِ- عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: بَيْنَ كُلِّ سَمَاءَيْنِ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ وَبَيْنَ الْعَرْشِ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَالْعَرْشُ فَوْقَ الْمَاءِ وَاللَّهُ فَوْقَ الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ فِيهِ وَعَلَيْهِ. يُقَالُ: كُرْسِيٌّ وَكِرْسِيٌّ وَالْجَمْعُ الْكَرَاسِيُّ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُرْسِيُّهُ عِلْمُهُ. وَرَجَّحَهُ الطَّبَرِيُّ، قَالَ: وَمِنْهُ الْكُرَّاسَةُ الَّتِي تَضُمُّ الْعِلْمَ، وَمِنْهُ قِيلَ لِلْعُلَمَاءِ: الْكَرَاسِيُّ، لِأَنَّهُمُ الْمُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ


5. Contoh Masalah Fiqih
قوله تعالى: (فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ)] ذَكَرَ تَعَالَى أَرْبَعَةَ أَعْضَاءٍ: الْوَجْهُ وَفَرْضُهُ الْغَسْلُ وَالْيَدَيْنِ كَذَلِكَ وَالرَّأْسُ وَفَرْضُهُ الْمَسْحُ اتِّفَاقًا وَاخْتُلِفَ فِي الرِّجْلَيْنِ عَلَى مَا يَأْتِي، لَمْ يُذْكَرْ سِوَاهَا فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهَا آدَابٌ وَسُنَنٌ. وَاللَّهُ] أَعْلَمُ [«1» وَلَا بُدَّ فِي غَسْلِ الْوَجْهِ مِنْ نَقْلِ الْمَاءِ إِلَيْهِ، وَإِمْرَارِ الْيَدِ عَلَيْهِ، وَهَذِهِ حَقِيقَةُ الْغَسْلِ عِنْدَنَا،




BAB III
Kesimpulan dan Penutup
      Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa, pertama Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili, berbentuk tafsir bil ma`tsur dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Dan perbedaan yang mencolok antara kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dengan kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya adalah kitab tafsir ini lebih istimewa karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi. Dan juga al-Qurthubi di dalam penafsirannya tidak ta'assub dengan mazhab Maliki.
     Demikianlah pembahasan mengenai Tafsir al-Qurtubi ini kami susun, kami menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik maupun saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan pembahasan ini. Atas segenap perhatiannya, kami mengucapkan terima kasih.

Daftar Pustaka
Adz-Dzahabi. Muhammad Husein. 1961. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz I. Kairo: Dar    al-Kutub.
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i; Suatu Pengantar. Jakarta: Raja        Grafindo Persada. 1996.
Al-Qatthan. Manna Khalil1994. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Citra Antar Nusa.
Al-Qurthubi. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari. 1995. al-Jami’ li Ahkam   al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri.
Baidan, Nashrudin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: pustaka Pelajar.
Maktabah Syamilah  al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an
Qathan, Mana’ul. 1995. Pembahasan ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Rineka Cipta.



[2] Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), hal. 3.

                [3] Ibid., hal 93-131.
                [4] Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Kutub, 1961),  hal. 437. Manna’ Khalil al-       Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Quran, (Jakarta: Citra Antar Nusa, 1994), hal. 514.
                [5] Al-Zahabi, op.cit, hal. 125.
                [6] Nashrudin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, (yogyakarta: pustaka pelajar, 2005), Hal. 417-419.
                [7] al-Qurthubi,  juz 6 hal. 53

Studi Naskah Tafsir_As-Sya`rawi_ An Nisa` 1-3_Poligami

Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami) Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin , Muhammad Muthiurridlo , Ikrom Najibuddin Fakultas...