Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami)
Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin, Muhammad Muthiurridlo, Ikrom
Najibuddin
Fakultas Ushuluddin
Institut PTIQ Jakarta
PENDAHULUAN
Nikah adalah
salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang
sempurna. Pernikahan itu bukan hanya satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu
jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dan kaum yang lain, dan
perkenalan akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
yang lainnya.
Dalam
pernikahan dikenal juga dengan istilah poligami, poliandri, dan monogami.
Poligami ialah seseorang suami yang memiliki istri lebih dari satu, dalam Islam
poiligami di perbolehkan dengan syarat mampu menegakkan keadilan dalam rumah
tangganya.
Sebagian
dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang
praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar
bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain
menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini
beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah
sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.
Di dalam
Al-Quran sudah di sebutkan batasan jumlah istri yang boleh di nikahi yaitu :
dua, tiga atau empat ada juga yang berpendapat 2+3+4 sampai dengan sembilan
istri.
Terlepas
dari pendapat pro dan kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligami
menjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lama
semakin banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak
di antara kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum
Negara maupun hukum agama. Dalam makalah ini kami mencoba membahas mengenai
tafsir Surah An-Nisa ayat 3-4 yang
membahas masalah poligami. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
PEMBAHASAN
Surah An-nisa ayat 3:
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ
ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Asbabun
Nuzul
Imam
Bukhari, Imam Muslim, Nasa’i, Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dari Urwah
Bin Zubair bahwa ia bertanya kepada khaalahnya ( bibi dari ibu
) yaitu Sayyidah Aisyah r.a tentang ayat ini, lalu Sayyidah Aisyah r.a berkata,
“wahai putra saudara perempuanku, ada seorang anak yatim perempuan yang berada
di bawah asuhan walinya, si wali tersebut ikut menikmati harta si anak yatim
tersebut. Lalu si wali ternyata tertarik kepada harta dan kecantikan nya, lau
ia ingin menikahinya tanpa mau bersikap adil di dalam memberikan mahar
kepadanya dengan cara tidak memberinya maskawin atau mahar seperti yang biasa
diberikan kepada para wanita sepertinya. Lalu sikap seperti ini di larang bagi
mereka dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya yang
mereka senangi, dua, tiga, atau empat.
Sa’id Bin Jabair,
Qatadah, Ar-Rabi’, Adh-Dhahhak Dan As-Suddi berkata mereka bersikap hati-hati
dan menjauhi harta anak yatim dan bersikap lebih bebas dan mempermudah di dalam
masalah wanita, mereka menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan, namun
terkadang mereka bersikap adil dan terkadang tidak. Lalu ketika mereka bertanya
tentang masalah anak-anak yatim, maka turunlah
ayat anak-anak yatim, yaitu ayat dua surah an-Nisa. Allah SWT juga menurunkan
ayat tiga surah an-Nisa ini, seolah-olah Allah SWT berfirman kepada mereka,
sebagaimana kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim,
maka begitu juga kalian harus takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak
wanita. Oleh karena itu, janganlah kalian menikahi wanita lebih dari jumlah
yang kalian bisa memenuhi hak-haknya. Karena wanita memiliki kesamaan dengan
anak yatim, yaitu sebagai makhluk yang lemah. Ini adalah pendapat ibnu abbas r.a di dalam riwayat
al-walibi (ali bin rabi’ah bin nadhlah), salah satu perawi terpercaya dari ath-thabqah
ats-tsaalitsah.[[1]]
Munasabah
ayat
Ayat 3 al-Nisa’ ini masih ada kaitannya
dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’. Ayat 2 mengingatkan kepada para
wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai
memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan
yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita
yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik
dan adil memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang
dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk mengambil harta
anak yatim tersebut.
Tafsir
ayat
Imam Ath-Thabari memahami ayat di atas dalam
konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan
juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat
tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban
berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut
Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak
yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan
lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika khawatir” tidak dapat
berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih
juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah
engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena
mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak
sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian itu lebih dekat
pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.[[2]]
Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas
beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak
anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan
berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri
dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak
mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.
Perintah pada ayat, فانكحوا
adalah perintah yang bersifat ibaahah (memperbolehkan), seperti perintah pada
ayat, وكلوا واشربوا (al-Baqarah
:187) dan bentuk-bentuk perintah yang sejenis lainnya. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa perintah tersebut adalah bersifat wujuub (wajib), namun
yang dimaksud wajib disini bukanlah wajib nikahnya, akan tetapi wajib terbatas
pada jumlah seperti yang dijelaskan di ayat tersebut, yaitu dua, tiga atau
empat. Atau dengan kata lain , jika berpoligami, maka wajib hanya terbatas pada
jumlah tersebut, tidak boleh melebihi.[[3]]
Quraish Shihab menyatakan bahwa surat
An-Nisa’ ayat 3 tidaklah mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya. Ayat
tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu
kecil yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang amat membutuhkannya dan dengan
syarat yang tidak ringan. Dengan begitu, bahasan tentang poligami dalam
Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya, namun
harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang
mungkin terjadi.[[4]]
Hal senada juga diungkapkan al Maraghi,
bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat yang dilakukan oleh
orang-orang yang benar membutuhkan. Alasan yang membolehkan poligami menurut al
Maraghi adalah (1) istri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat
mengharapkan keturunan, (2) suami hiperseks sementara istri tidak mampu
melayani, (3) suami memiliki harta yang banyak untuk memenuhi seluruh kebutuhan
keluarga, dan (4) jumlah perempuan melebihi laki-laki atau banyaknya janda dan
anak yatim karena perang[[5]]
Ayat, مَثۡنَىٰ
وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ bilangan-bilangan ini menunjukkan arti takriir
atau berulang, maksudnya matsnaa artinya adalah istnain istnain
(dua-dua),tsulaats artinya tsalaatsah tsalaatsah (tiga-tiga) dan rubaa’ artinya
arba’ah arba’ah. Maksudnya adalah, diperbolehkan yang ingin berpoligami untuk
menikahi wanita sejumlah tersebut.
Kemudian Allah SWT menguatkan keharusan bersikap adil
diantara para istri apabila seorang berpoligami. Hal ini dipahani dari ayat وان خفتم الا
تقسطوا dan Allah SWT menjelaskan, apabila kalian
takut tidak bisa bersikap adil ketika berpoligami, maka kalian harus menikahi
satu wanita saja. Karena yang diperbolehkan berpoigami adalah orang yang yakin
dirinya bisa merealisasikan kewajiban bersikap adil yang diperintahkan secara
jelas di dalam ayat.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.(an-Nisa’ : 129).
Namun yang di maksud tidak akan dapat berbuat adil
oleh ayat 129 ini adalah adil dalam kecenderungan hati. Karena jika tidak, maka
kesimpulan dua ayat ini ayat tiga dan 129 di lihat dari satu sisi adalah
berarti larangan berpoligami.
Ath-Thabari, Ar-Razi, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha memahami ayat 3 surat An-Nisa’ yang acap kali dijadikan dasar
kebolehan berpoligami itu dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim dan
perempuan-perempuan yang dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama ayat
tersebut adalah berbuat adil terhadap hak-hak dan kepentingan-kepentingan anak
yatim dan perempuan yang dinikahi.
Menurut Quraish Shihab penyebutan dua,
tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil
kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang
orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu
dikatakannya “Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka
habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda”. Tentu saja perintah
menghabiskan larangan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan
larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu. Poligami adalah salah satu
solusi yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan dan memenuhi
syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang
yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency.
Menurut
Sya’rawi, “Hukum asal dari poligami pada tahap
awal adalah ibahah (boleh) bukan wajib, dalam arti Islam tidak mewajibkan
laki-laki untuk melakukan poligami. Mengawini perempuan walaupun berjumlah satu
orang hukumnya tetap mubah. Selama mubah, maka pelaksanaannya tergantung
keinginan manusia yang melaksanakannya.
Apabila kamu mengambil suatu hukum , maka ambillah berikut
syaratnya jangan mengambil bolehnya poligami dan meninggalkan syaratnya yaitu
berlaku adil, karena ini akan menimbulkan kerusakan.
Manhaj Ilahi harus diambil secara utuh dalam satu kesatuan. Kenapa
perempuan membenci poligami? Karena dia menemukan suami yang menikahi istri
kedua melantarkan istri pertama. Hal ini mencamarkan nama abik hukum Islam,
karena tidak dilakukan dalam satu kesatuan. Kalaulah suami bertindak adil dalam
menggauli, member nafkah, tempat dan giliran bagi para istrinya, maka hal ini
menjadi percontohan bagi keadilan yang didinginkan Islam.
Dalam pengertian lain, keadilan yang di inginkan ialah pemeratan
bagi semua istri dalam memperoleh hak: tempat tinggal, waktu, dan giliran. Hal
inin mampu dilakukan oleh semua suami.
Aisyah menkisahkan bahwa Rasulullah membagikan segala sesuatu
kepada seluruh istrinya dengan bagian sama rata, lalu beliau bersabda: “Ya
Allah inilah yang bisa saya bagi dari apa-apa yang kumiliki, maka jangan
mencaciku terhadap apa-apa yang Kamu miliki dan tidak dan tidak saya miliki
(hati).” (HR Imam Ahmad, Abu DAud dan ad-Darimi).
Poligami mempunyai nilai positif. Seandainya sudah kurang interes
terhadap isterinya, apa yang harus dia lakukan? Apakah ia harus menceraikannya
dan mencari perempuan lain, atau dia memaduhnya dengan isteri baru? Di antara
Negara muslim ada yang membolehkan diterapkannya poligami, bukan karena islam
yang mencetuskannya, tapi karena keadaan masyarakat mewajibkan hal itu
diberlakukan guna memecahkan problematika kehidupan mereka, guna mencegah
perselingkuahan. Teman selingkuh ini telah merusak tatanan kehidupan masyarakat
dan menyebabkan bayi lahir tanpa ayah.
Istri kedua merupakan satu solusi untuk mewujudkan suasana bersih
di tengah masyarakat. Perkawinan suami itu dangan istri kedua itu diketahui
oleh semua orang , dan selanjutnya suami akan bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup istri berikut anak-anaknya.
KESIMPULAN
Sesungguhnya poligami dalam islam adalah
sesuatu yang berpangkal dari keadaan yang mendesak atau didorong oleh demi
maslahah ‘aammah (kebaikan universal), atau demi kebaikan individu. Dan
memperbaiki kerusakan itu lebih baik daripada membiarkan kerusakan. Dan
seseorang dilarang untuk mencoba membiarkan kerusakan berkelanjutan. Karena
dalil Nash telah secara jelas memperbolehkan
poligami, tidak mengamalkan dalil Nash atau keluar dari ketentuan dalil
Nash adalah kemungkaran yang haram dalam syari’at Allah dan agama-Nya.
Prinsip dasar Islam tentang pernikahan
adalah monogami, meskipun membolehkan poligami yang tidak dapat menimbulkan
malapetaka baik untuk yang berpoligami maupun terhadap perempuan dengan
sejumlah syarat yang ketat. Poligami dalam ayat tersebut terbatas sebagai
irsyad (petunjuk) bukan al-i’lam (anjuran). Sebagaimana al-Qur’an tidak
memutlakannya, tapi membatasainya menjadi empat dengan syarat adil yang
membedakannya dengan syarat lain tanpa pembatasan. Apabila syarat ini tidak
dipenuhi, kebolehan tersebut menjadi hilang. Karena persyaratan yang ketat
inilah mendorong kalangan modernis untuk merekomendasikan perkawinan ideal
menurut al-Qur’an adalah monogamy.
Pada prinsipnya ayat ini membolehkan
poligami sebagai suatu hukum agama yang dapat saja berbentuk haram, sunnah,
mubah, makruh, dan halal sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya baik berupa
kemaslahatan maupun kemudharatan. Apabila poligami telah memunculkan persoalan
yang merusak tatanan masyarakat, penguasa dapat menjadikan poligami sebagai hal
yang haram.
DAFTAR
PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. 2013.
Tafsir Al-Munir, Jilid II. Jakarta : Gema Insani.
Ath-Thabari.
2000. Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an. Muassasah Al-Risalah,
Cetakan pertama.
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:
Lentera Hati.
Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz IV. Semarang:
PT. Karya Toha Putra.
[1] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid II (
Jakarta : Gema Insani, 2013 ), Hml. 571-572
[2] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an,
(Muassasah Al-Risalah, Cetakan pertama, 2000), V, hlm. 532
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Hlm. 573.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2002,
hlm. 324.
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz IV.
Semarang: PT. Karya Toha Putra. Hlm 181-182